Travelling

Data Travelling saya


Sikambang sebagai Bentuk Tradisi Lisan Sibolga

            Pada umumnya perkembangan tradisi lisan dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari tradisi tulis tetapi kehadiran keduanya saling bergayutan bahkan kadang-kadang sangat sulit untuk menentukan asal tradisi tersebut sebab munculnya tradisi lisan itu bisa jadi berasal dari tradisi tulis yang dilisankan atau sebaliknya munculnya tradisi tulis itu berasal dari tradisi lisan. Lebih rumit dan kompleks lagi ketika tradisi lisan tersebut didokumentasikan dalam bentuk tulisan, rekaman, disket, kaset video, CD, dan media lainnya sehingga memungkinkan generasi yang akan datang melisankan kembali tradisi tersebut dengan sumber dokumentasi yang ada. Oleh karena itu, penelitian terhadap tradisi lisan ini cukup unik dan rumit.
            Diantara sekian banyak objek penelitian kajian tradisi lisan ada yang  berupa mitos, legenda, folklore, dan seni pertunjukan.
            Performance Studies atau kajian pertunjukkan sebuah disiplin baru, sebuah pendekatan interdisipliner yang mempertemukan berbagai disiplin, antara lain kajian teater, antropoogi, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, dan kritik sastra. Sasaran kajian pertunjukkan tidak terbatas pada tontonan yang dilakukan di atas panggung, tetapi juga terjadi di luar panggung, olahraga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan ritual (Murgiyanto dalam Pudentia, 2008: 14).
            Pada awalnya seni pertunjukkan, termasuk di dalamnya tradisi lisan disajikan bukan sebagai sajian seni dan hiburan semata, tetapi juga untuk kepentingan praktis kemasyarakatan.Dalam pementasannyatersebut, tampak bahwa pertnjukkan atau pementasan bukanlah semata-mata merupakan seni panggung yang ditonton oleh khalayak, atau seperti yang dikatakan Lord (dalam Pudentia, 2008: 378) mengatakan bahwa setiap pertunjukan adalah karya seni” tetapi lebih dari itu. Pementasan tradisi lisan adalah sebuah peristiwa sosial budaya. Karena itu, pendekatan yang memusatkan perhatian pada “teks” saja atau dengan kata lain memperlakukan pementasan `atau penghadiran tradisi lisan sebagai “teks” saja tidak akan membawa kita pada “roh”-nya. Pendekatan kontekstual dalam hal ini perlu dilakukan dengan pendekatan kontekstual.   
Seni pertunjukkan  sebagai salah satu cabang seni yang selalu hadir dalam kehidupan manusia ternyata memiliki perkembangan yang sangat kompleks. Sebagai seni yang hilang daam perjalanan  waktu, yang hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang dipertunjukkan (Soedarsono, 2003: 1). Seni pertunjukkan adalah seni yang disajikan dengan penampilan peragaan. Artinya, seni itu akan dapat dinikmati selama berlansungnya proses ungkap  oleh pelakunya yakni dalam ungkapannya dapat berupa seni tari, seni musik, dan seni teater (Bastoni, 1992: 42). Seni termasuk seni pertunjukkan adalah produk masyarakat yang dapat dikonsumsi noeh masyarakat yang membutuhkannya (Jenet Wolff dalam Soedarsono, 2000: 2).
            Lebih lanjut, Harjana, 2000: 128) mengatakan bahwa seni pertunjukkan adalah kegiatan yang mempertunjukkan kesenian; baik pertunjukkan musik, drama, tari atau pertunjukkan lainnya. Seni pertunjukkan adalah yang disajikan dengan penampilan peragaan. Maksudnya, hanya akan dinikmati selama berlangsungnya proses oleh pelakunya (Bastomi, 1992: 42). Seni pertunjukkan adalah penyajian seni yang mempunyai wilayah penyebaran yang sangat luas, istilah-istilah untuk menyebutkan jenis penyajiannya adalah sama di daerah yang berbeda, tetapi secara detail pertunjukkannya sangat berbeda.
            Dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas mengenai tradisi kesenian Sikambang yang merupakan kesenian dalam upacara perkawinan adat Sibolga. Namun Saat ini kesenian Sikambang sudah jarang disertakan dalam upacara perkawinan masyarakat Sibolga saat ini. Selain dikarenakan perkembangan zaman yang membuat orang lebih memilih cara modern juga disebabkan oleh semakin berkurangnya seniman-seniman yang mengetahui kesenian Sikambang. Seniman-seniman yang mengetahui betul tentang Sikambang sebagian besar sudah tua dan banyak yang sudah meninggal.
            Untuk itulah perlu dilakukan kajian-kajian lebih mendalam untuk melestarikan kembali kesenian-kesenian daerah khususnya Sikambang agar generasi di kemudian hari tetap bisa menyaksikan tradisi budaya sehingga tidak hanya menjadi tinggal sejarah di dalam buku pelajaran saja.

 Letak dan Keadaan Geografis Kota Sibolga
Sibolga terletak di pantai Barat Sumatera Utara, sejauh 344 km dari Kota Medan, melalui jalan darat ke arah Selatan. Kota ini berada pada sisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Secara geografis berada antara 1.42 – 1.46 LU dan 98.44 – 98.48 BT. Bentuk Kota memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai, dimana sebelah Timur terdiri dari gunung, dan lautan di sebelah Barat. Lebar kota yang merupakan jarak dari garis pantai ke pegunungan sangat sempit hanya 500 meter, itupun telah masuk didalamnya timbunan laut dan kaki gunung yang dijadikan perumahan.
Luas wilayah administrasi keseluruhannya 3.536 Ha (35.36 Km2) yang terdiri dari : Daratan pulau Sumatera             : 1.126,67 Ha
Pulau-pulau (5 buah)               : 238,32 Ha
Lautan                                    : 2.171,01 Ha
Batas-batas wilayah kota terdiri dari :
Sebelah Utara              : Kabupaten Tapanuli Tengah
Sebelah Timur             : Kabupaten Tapanuli Tengah
Sebelah Selatan           : Kabupaten Tapanuli Tengah
Sebelah Barat              : Samudera Indonesia

Sibolga berada di daerah Khatulistiwa yang beriklim tropis. Diapit diantara pegunungan dan samudera Hindia, suhu maksimum berada sekitar 32 C dan minimum sekitar 22 C. Dengan curah hujan rata-rata 4.842,9 mm per tahun. Kelembaban udara rata-rata 82,67 %, serta kecepatan angin rata-rata 6,16 m/detik.
Masyarakat Pesisir-Sibolga/Tapanuli Tengah pula mempergunakan bahasa Pesisir-Sibolga yang merupakan campuran bahasa ogek-ogek. Budaya Pesisir-Sibolga/Tapanuli Tengah ini mengenal salah satu nyanyian berupa ratapan tentang kehidupan yang disebut dengan sikambang.
Kota Sibolga adalah kota berbilang kaum, sebutan ini bukan hanya semboyan belaka, masyarakat kota ini terdiri dari berbagai etnis, yang memiliki kekayaan budaya yang beragam. Tercatat kurang lebih 11 (sebelas) suku yang tinggal di Kota Sibolga. Sebagai salah satu kota yang terletak di pesisir pantai, budaya pesisir adalah yang paling mendominasi.




 
 












Peta Kota Sibolga









 





Peta Provinsi Sumatera Utara
 
 





















Pertunjukan Dampeng Saat Mangarak Marapule
            Kesenian Sikambang terdiri dari lima bagian yang terkadang tidak keseluruhannya dilaksanakan pada acara perkawinan di Sibolga. Kelima bagian itu ialah Dampeng, Kapri, Sapu Tangan, Duo dan Pulo Pinang.
            Dampeng yang berupa kesenian pencak silat yang diiringi musil, lagu  dan pantun dilaksanakan pada saat mengarak marapule (pengantin pria) menuju rumah anak daro (pengantin wanita). Pada pelaksanaan acara mangarak marapule turut dipersiapkan Anak Dendang (Anak Sikambbang) untuk badampeng yaitu untuk persiapan para pemain music dan penyanyi bila pengantin laki-laki akan bertolak dari rummah sampai di rumah pengantin perempuan, maka dinyanyikankanlah 12 buah pantun bersahut-sahutan yang dinamakan Dampeng. Dari kedua belas pantun tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Balari babelok-belok
Balari tantang nan di tanang
Ati nan pai ko ndak elok
Ati nan tingga ko ndak tanang

Tanang-tanang laut Siboga
Kapal marapek ka muaronyo
Tanang-tanang ati nan tingga
Dagang barangkek dek di untungnyo

Siamat bintang siamat
Ketigo bintang satinggi lago
Kok nan pai pun salamat
Kok nan tingga pun masuk maro

Pancaringek di tapi ai
Sudah matipun babua
Jimek-jimek jongon balawi
Labi balai babua

Pantun pertama menyatakan perasaan bersedih si pengantin yang meninggalkan rumah dan keluarga si pengantin yang ditinggalkan. Pantun kedua jawaban untuk menenangkan hati pengantin dan keluarga yang ditinggalkan. Pantun ketiga berisi doa agar yang pergi dan yang ditinggalkan sama-sama diberi keselamatan. Pantun keempat berisi pesan kepada si pengantin agar berpandai-pandai masuk ke keluarga yang baru.
            Turut dipersiapkan dalam acara ini anak galombang duo bale yaitu mempersiapkan para pemain pencak silat sejumlah dua belas orang sebagai panglima da pengawal raja sehari yang nantinya ketika sampai di rumah anak daro masing-masing panglima kedua belah pihak melakukan perang tanding. Setelah beberapa saat maka pertarungan akan dipisahkan oleh orang tua yang telah ditunjuk dan pengawal kedua belah pihak melanjutkan seni ketangkasan dengan bermain rande Yaitu mengelilingi bunga limau atau sunting dengan maksud memperlihatkan kesatuan dan persatuan kepada handai tolan maupun masyarakat yang hadir.

Kesenian Sikambang masyarakat pesisir, merupakan kesenian yang memadukan musik, tarian, senandung, pantun yang paling populer sebagai salah satu kesenian asli Kota Sibolga. Kesenian sikambang yang dulunya dilaksanakan untuk acara pernikahan kini juga dipertunjukkan pada saat upacara penyambutan, dan hari-hari besar.
Dampeng yang merupakan bagian dari Sikambang merupakan kesenian berupa pertunjukan tarian pencak silat yang dilakukan oleh laki-laki dan diiringi musik dan penyanyi yang menyanyikan pantun-pantun yang berisi doa dan ratapan hati.
Saat ini tak banyak yang mengetahui apalagi menegrti tentang kesenian ini sehingga perlu waktu untuk mencari pakar adat yang masih hidup untuk dijadikan narasumber. Bahkan narasumber yang adapun belum mewariskan pengetahuannya kepada penerusnya. Sehingga tumpuan harapan untuk melestarikan kesenian daerah ini adalah para akademisi yang tertarik pada kajian tradisi lisan khususnya untuk kesenian daerah pesisir Sibolga ini, di samping Dinas Pariwisata kota Sibolga yang memang sudah mulai membangkitkan kembali kesenian daerah ini dengan mengadakan perlombaan tingkat pelajar dengan tujuan untuk mengenalkan kesenian ini kepada generasi muda.





DAFTAR PUSTAKA

Danandja, James. 1984. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: PT Grafiti Press
------------------ 1998. ”Pendekatan Foklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi Lisan”. Dalam Pudentia (2008) (ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
Soedarsono, RM.2003. Seni Pertunjukkan dari Perspektif, Politik, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Bastomi, Suwardji. 1992. Wawasan Seni. Semarang IKIP Semarang Press
Harjana, Suka. 2000.  Ensklopedi Seni Pertunjukkan. Bandung: MSPI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar